Two things are infinite: the universe and human stupidity; and I’m not sure about the universe. -Albert Einsten-

Apakah Einstein sedang dikuasai superioritas ketika mengatakan kalimat tersebut? Atau ia juga mengatakan dirinya bodoh? Pandangan skeptis yang tercermin dalam kutipan di atas bisa jadi benar (apalagi bagi seorang skeptis). Dalam banyak hal, manusia menunjukkan ketakmampuannya mengatasi keadaan, lihat saja betapa buku-buku “self help” laku di pasaran. Apakah buku-buku itu membahas isu besar dunia? Ya, di dunia individu, seperti mengupas bagaimana mendapatkan teman kencan dengan menunjukkan bahasa tubuh yang tepat misalnya. Atau bagaimana cara berpakaian yang tepat sesuai bentuk tubuh. Atau apa yang harus dikatakan ketika seseorang mempermalukan kita di depan umum. It’s all about how to do such simple yet ‘big’ thing.

Manusia memang terkadang membutuhkan bantuan menemukan/menyelesaikan hal sehari-hari. Bahkan satu jerawat bisa menghancurkan hari seseorang, hingga ia butuh foundation yang tebal untuk menutupinya. Ketika bulan puasa, saya seperti menonton live sinetron di warung-warung makan demi melihat beberapa wanita ber-make up dengan wajah masih super ngantuk, mereka tetap ingin terlihat cantik, good! Tapi saya melihat hal lain: bahwa sesungguhnya mereka tak PD keluar rumah apa adanya tanpa berdandan, mungkin sedikit judgemental, tapi bagi saya makan sahur di pagi buta bukan saat yang tepat untuk memoles wajah.

Pandangan kita terhadap dunia mau tak mau dipengaruhi dengan siapa dan bagaimana kita berinteraksi. Bila lingkungan sehari-hari dipenuhi orang-orang yang mementingkan penampilan, mekanisme penyesuaian diri kita akan terprogram untuk itu dan perlahan kita mulai memberi perhatian lebih terhadap penampilan. Bayangkan bagaimana reaksi kita ketika seorang kawan berkomentar “Ya ampun kita mau dugem, kok baju kamu begini, ga ada yang lain apa?” Resistensi orang memang berbeda-beda, sebagian mungkin bodo amatan, bagaimana dengan sebagian yang lain? Mereka akan belajar dandan sesuai ‘tuntutan’ sosial. Selalu ada titik ekstrim dan ada titik balance bagi setiap hal. Saya salut dengan orang-orang dengan prinsip kuat, tapi ini berbeda dengan kaku dan keras kepala. Katakanlah jas tak lebih baik dari sarung dan sebaliknya, tapi ketika ada orang mengenakan sarung ke mall, oh my gawd, that’s just… oh… well… (giggles)… Itu salah kostum, kehabisan celana, terlalu pede, cari perhatian, atau… completely out of his mind? Hal yang sama berlaku untuk make up, akan cantik digunakan di saat yang tepat. Oh rupanya saya sudah terdeterminasi hingga bisa mengatakan kapan saat yang tepat dan tak tepat mengenakan make up 😉 Sesuatu yang “wajar” secara sosial, bagaimanapun adalah konsensus dan sah-sah saja bila ada segelintir orang yang tak sepakat dan melakukan hal yang sebaliknya.

Lagi-lagi yang saya soroti adalah aspek kesadaran manusia, tema yang selalu menarik bagi saya. Apakah kita sadar dengan pilihan-pilihan kita? Bila itu bertentangan sesuatu yang ada di dalam kita namun tetap dilakukan demi diterimanya kita secara sosial, disitulah letak ke-tak-berdayaan seseorang terhadap lingkungan. Jangan khawatir, ini bukanlah tanda cacatnya integritas diri, ini hanya suatu bawaan gen purba yang secara alamiah ada dalam diri setiap orang, suatu gen yang memacu individu menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Awalnya konon berkaitan dengan defense mechaniscm di jaman purba, berada di dalam kelompok akan memberi peluang bagi kita untuk survive, plus memberi kesempatan beranak pinak. Hukum Survival of The Fittest -nya Oom Darwin berlaku.

Lalu di mana letak kebodohan manusia bila selalu ada pemakluman untuk setiap perilakunya? Pertanyaan ini sebenarnya sangat menggoda saya untuk ngomel tentang betapa bodohnya manusia… Dan agar tak terlihat segitu skeptisnya, saya berusaha tidak ngomel (Lihatlah betapa kalimat itu sendiri adalah suatu kebodohan besar: Saya mengatakan saya skeptis saat saya tak ingin dunia mengetahuinya). Betul kawan, kita kadang tak menyadari kata-kata yang mengalir dari diri sendiri. Misalnya saja men-tag beberapa teman di suatu post facebook tentang jerawat dengan berkata “Maaf ya aku sama sekali ngga ada niat nyinggung kalian, tapi kalian baca deh tips ngilangin jerawat ini.” Helloooo… kalau sadar postingan itu berpotensi menyinggung, kenapa diposting di tempat umum? Setahu saya bisa PM deh… Paling nggak kalo beneran tersinggung bisa diselesaikan in private juga.

Itu hanya satu contoh, saya bisa menyebutkan banyak contoh lainnya yang berhubungan dengan bahasa. Penting? Penting ga penting, bahasa mencerminkan intelektualitas seseorang. Bagaimana mungkin dapat efektif berargumen bila logika kalimat saja sudah cacat? Atau pengen dianggap cerdas dengan banyak mengeluarkan kata-kata macam BODOH dan TOLOL? Well… Saya sendiri segitu bodohnya karena sering mengucapkan kata-kata tak intelek itu. Tapi gini ya, berekspresi itu boleh, membenci suatu hal yang dianggap tak tepat juga silakan. Tapi kalau yang bisa dikatakan hanyalah BODOH TOLOL IDIOT TAI BABI tanpa disertai alasan yang masuk akal, orang paling idiot pun bisa melakukannya. Kata kuncinya bagi saya adalah masuk akal. Tak peduli sepanjang apa kalimat justifikasi untuk kata-kata itu, bila di dalamnya ada pertentangan mendasar, that’s fucking bullshit, you idiot… *giggles*

Mau contoh lagi? “Valentine merusak moral bangsa, menyumbangkan pundi uang ke kantong kapitalis, merayakannya bisa mengarah pada sex bebas, bukan budaya bangsa, hanya orang TOLOL yang merayakannya.” Saya tak perlu membahas keseluruhan kalimat ini, saya hanya akan mengambil sepotong: menyumbang pada kapitalis. Wajarkah itu dipajang di fb? Heeeeeeyyyyy what the hell you think you’re doing?

Pertama, bila si penulis adalah pengguna fb, dia sendiri telah berkontribusi terhadap perkembangan kapitalis. Bah! Kau pikir kenapa kau bisa fesbukan gratis? Karena fb sudah dapet jutaan dolar dari iklan2nya. Kenapa pengiklan mau bayar demi beriklan di fb? Karena penggunanya ajegile banyaknya (target market). Kenapa para pengiklan ini punya dana beriklan? Karena iklannya menghasilkan transaksi, pelurunya tepat sasaran mengenai target market. Oh oh oh tapi kau tak pernah belanja online? Baiklah, kau hanyalah setitik debu dalam suatu sistem besar yang kau nikmati dengan sangat namun kau kutuk. Hipokritkah itu? Atau hanya idiot?

Jiwaku Ada di Sana, dan Seseorang Merenggutnya

Berapa kali seumur hidupmu kau merasakan kebencian melingkupi jiwamu hingga hilang akalmu?

Hanya hal luar biasa yang mampu menggelapkan hatimu hingga tandas. Atau hatiku… dan akalku… Aku sungguh tak tahu isi manusia lain dan tak sepantasnya menebaknya, walaupun kuakui, aku menikmati hal-hal yang tak pantas… Mengumpulkan segenap energi untuk mengutuk, misalnya. Mungkin voodoo berasal dari hal sesederhana itu. Tidak, aku tak bermain dengan boneka konyol macam itu, aku bermain dengan pikiranku sendiri dan berharap menderitanya orang-orang tak berguna, yang keberadaannya merendahkan derajat kemanusiaan manusia.

Konon setiap hal memiliki pendamping di kutub yang berlawanan. Baik dan buruk. Malaikat dan iblis. Aku memiliki kedua sisi, seperti layaknya orang lain walaupun saat ini kuingin menutup mata terhadap kebaikan. Iblisku telah bangkit melebihi tahun-tahun sebelumnya dalam kehidupanku. Malaikat yang kian redup terus mempertanyakan pernyataan-pernyataan iblis, “mengapa berharap penderitaan orang lain jika harapan tersebut menyakiti diri sendiri? Setiap energi yang kau keluarkan akan kembali dalam bentuk yang lebih besar, setiap serapah yang kau luncurkan, akan mewujud menjadi ke-tak-tenangan jiwamu sendiri. Mengapa kau pikir ada manusia yang keberadaannya merendahkan derajat kemanusiaan di muka bumi, sementara kau tahu setiap hal memiliki alasan. Baik hanya mengada bila ada buruk. Kemuliaan hanya ada bila ada kebusukan. Setiap hal memiliki peranan dalam membentuk dunia. Kelam yang kau rasakan hanya akan membuatmu naik kelas bila kau mampu melihat dari sudut pandang yang tepat, dan itu adalah pilihanmu sendiri untuk menentukan di mana kau berdiri.”

Sudahkah kukatakan aku ingin menutup mata terhadap kebaikan? Itulah yang kulakukan sekarang. Berselimut benci, yang konon membuat sahabatku sesak oleh auraku yang mendung. Aku baru saja menantang masalah dengan berkomentar kurang ajar terhadap perilaku orang yang selalu kukutuk keberadaannya, perbuatan yang biasanya tak kulakukan dengan alasan menahan diri dan menghindari memanasnya suasana hati, tapi apa bisa suasana hatiku lebih buruk dari saat ini? Perasaan yang kurasakan hanya 2 kali seumur hidupku. Saat sebuah entitas (maaf aku tak bersedia menyebutnya manusia), yang mengaku bajingan tapi hanyalah banci (banci adalah kata netral bagiku, namun aku perlu meminjam kalimat yang pernah digunakannya tentang pria: pria kalo ga bajingan ya banci), mengatasnamakan tuhan dan agama untuk pembenaran segala kebohongannya, menyodorkan kemuliaan untuk menutupi kebusukan, berlindung pada cinta untuk memelihara kelangsungan kemunafikan, sementara yang ia miliki hanya bangkai, sisa sisa terurainya otak sebelum umurnya bahkan menginjak 30… Sungguh hina tanpa harus kutambahi kutukan.

Saat kedua, adalah saat ini… Saat catatan-catatanku lenyap, karya-karyaku hilang dari jangkauanku, impianku melayang menjauhiku. 10 tahun memupuk harapan dan berakhir sia-sia, tepat di saat aku akan mewujudkannya. Jiwaku ada di sana, dan seseorang merenggutnya. Dan aku hanya bisa menangis dalam hati tanpa sanggup mengeluarkan air mata. Hanya kebencian yang tersisa entah untuk siapa, tapi aku tahu untuk apa, menghujani mereka dengan cinta seorang iblis yang sedang bangkit: kutukan. Yang aku tahu sebenarnya tak perlu, karena hanya orang-orang yang sudah terkutuk sebelum ruh dihembuskan ke raganya yang sanggup merenggut jiwa seseorang.

Aku tak percaya keberuntungan selayaknya aku tak percaya ‘semua akan indah pada waktunya’, kecuali bila ‘waktunya’ dianggap sebagai ‘saat kita melihat dari sudut pandang yang tepat’ bukan dalam pengertian ‘waktu/time’ yang sesungguhnya, karena indah adalah konsep di kepala, yang mewujud di kepala namun mempengaruhi segala. Aku bisa melihat keindahan, bahkan di saat ini, namun aku menolak melakukannya. Aku menutup diri dan mengakuinya. Aku tak indah dan aku mengakuinya.